Nidhi Aeusrivongse
Diterjemahkan oleh Regional Studies Program, Walailak University dari “Morng sathannakarn phaktai phan wæn ‘kabot chaona’,” Sinlapa Watthanatham vol.25, no.8 (June 2004): 110-124.
Pelaku Utama adalah “Rakyat Kecil”
Susah ditolak bahwa situasi di Thailand selatan dalam tahun ini [2004 – ED.] adalah gerakan sosial yang mengikutsertakan ratusan orang di dalamnya.[1] Kalau kita melibatkan orang-orang yang telah memberikan dukungan pada operasi tersebut, jumlah mereka bisa sampai ribuan orang atau lebih.
Dalam hal ini saya tidak tertarik pada penjelasan tentang siapa yang memimpin gerakan sosial berskala besar itu, siapa orang yang mendalanginya atau darimana gerakan tersebut memperoleh dukungan. Mencari siapa kelompok pemimpin dari gerakan tersebut tidak membantu kita dalam upaya untuk memahaminya. Persoalan itu bukan lah sebuah peristiwa tunggal, seperti penyerangan perompakan senjata tentara [on 4 January 2004], pembunuhan pegawai negeri, pembakaran sekolah, atau serangan terhadap kesatuan polisi oleh kekuatan kaum militan, tetapi adalah gerakan yang melibatkan banyak orang. Tidak ada seseorang yang bisa memerintah atau menarik sebegitu banyak orang untuk melakukan operasi kekerasan seperti yang terjadi (bahkan dengan memakai obat-obatan sekalipun). Dalam hal itu pasti ada sejumlah factor yang telah mendorong para rakyat kecil bergerak keluar untuk suatu kepentingan umum. Untuk dapat mengerti situasi di wilayah Selatan, maka dari itu, hal yang perlu adalah memahami kondisi yang melingkupinya dan sejumlah factor yang mempengaruhi kehidupan rakyat kecil tersebut.
Sebuah negera yang otoriter tidak begitu peduli terhadap rakyat kecil yang berpartisipasi dalam gerakan sosial. Negara yang seperti itu tidak pernah berpikir bahwa orang biasa bisa menggerakkan sebuah gerakan politik atau sosial oleh dirinya sendiri, mereka selalu harus dipimpin seseorang, atau digoda oleh suapan, ataupun akibat dari penipuan.
Meskipun ada penghasutan, suapan, atau penipuan yang sesungguhnya, semua hal ini tidak dapat menjelaskan perilaku rakyat kecil yang mengikutsertakan dirinya ke dalam gerakan. Katakanlah bahwa ada banyak rakyat kecil yang memilih untuk tidak mengikutsertakan dirinya ke dalam gerakan, sebagai bagian dari sejumlah orang yang melibatkan dirinya dalam gerakan, pertanyaannya adalah mengapa satu kelompok memilih untuk bergabung dengan gerakan, sedangkan satu kelompok yang lain memilih untuk tidak terlibat?
Siapa Pelaku Utama?
Kebetulan peristiwa pada tanggal 28th April [Ed: 2004] yang mengakibatkan sejumlah besar orang meninggal dunia telah memungkinkan kita untuk mempelajari siapa sebenarnya rakyat kecil itu. [Ed: Peristwanya menyatakan serangan yang dikoordinasi oleh para militant beberapa kanto polisi de provinsi Pattani, Yala, dan Narativat, dan pos keamanan di mesjid Kresik di Provinsi Pattani. Serangannya ditindas dan mengakibatkan 107 jiwa militant meninggal, termasuk penyitaan de mesjid Kresik.]
Kalau kita melihat kekuatan yang mengambil bagian dalam kejadian pada tanggal 28th April, mereka dari kebanyakan, menurut media massa, adalah orang dari pedesaan. Ini konsisten dengan wawancara terhadap komandan angkatan darat keempat yang mengatakan bahwa mereka memperoleh latihan militer di beberapa wilayah di kecamatan (Amphoe) Sabayoi, provinsi Songkhla, atau Amphoe Kabang, Amphoe Yaha, Amphoe Thanto, Amphoe Aiyaweng, dan Amphoe Betong di provinsi Yala. Dia mengatakan bahwa semua daerah itu adalah pegunungan yang diselimuti hutan jadi petugas tidak dapat memeriksanya. (Matichon, 3 May 2004).
Wawancara dengan komandan angkatan darat keempat seiring dengan informasi dari sumber intelijen militer bahwa para pemuda telah menerima latihan militer secara rahasia (Saya tidak yakin apa yang dimaksud “pemuda”, karena pengumuman berita setelah peristiwa tersebut menyebutkan bahwa rata-rata umur orang yang meninggal sekitar 25 sampai 30 tahun yang berarti mereka tidak bisa disebut sebagai “pemuda” lagi). Latihan militer itu mengambil tempat di daerah pegunungan atau di dekat pedesaan yang lokasinya jauh dari manapun. Siiapa pun yang melakukan pelatihan tersebut tampak bahwa dia dapat meningkatkan kemampuan yang dilatih menjadi kelompok-kelompok berperingkat tinggi (high-ranking groups) yang memiliki kemampuan untuk melakukan serangan secara tiba-tiba terhadap target polisi. (Bagian Perspektif, Bangkok Post, 2 Mei 2004).
Ketika penulis berusaha mencari latar belakang orang yang meninggal, tetapi hal mengenai mereka tidak diperhatikan oleh media massa sama sekali. Oleh karena itu, kita hanya dapat mengetahui sedikit sekali tentang mereka.
Salah seorang yang telah terluka adalah Abdulroning Cheloh, orang dari Amphoe Khokpho, provinsi Pattani. Istrinya memberikan kesaksian bahwa pekerjaannya adalah buruh penyadap karet (Matichon, 2 Mei 2004), yang memberikan suatu pandangan bahwa status keuangan keluarganya sangat miskin karena dia bekerja sebagai buruh yang menyadap karet di pedesaan tanpa modalnya sendiri.
Kepala (kamnan) wilayah sub-kecamatan Thankhiri, sebuah wilayah administrative yang mencakup desa Susoh tempat matinya sembilan belas kaum militant yang telah menyerang menyerang kantor polisi Amphoe Sabayo, mengatakan bahwa “masalah yang paling parah adalah pendidikan karena kebanyakan anak-anak di sini adalah penganggur. Mereka tidak dapat pekerjaan karena tidak memiliki pengetahuan. Kebanyakannya belajar hanya sampai sekolah dasar dan tertingi hanya SMP. Lalu mereka harus membantu orang tuanya sebagai penyadap karet. Selain itu mereka tidak melakukan apa-apa” (Matichon, 2 Mei 2004). Baik tingkat pendidikan maupun kondisi pekerjaannya memberi petunjuk kepada kita bahwa mereka adalah korban dari disintegrasi sosial di pedesaan.
Meskipun begitu ada beberapa kasus yang berbeda dari scenario ini, contohnya PakSanphu and Pak Maroning Yogmakeh, dua-duanya meninggal akibat ditembak. Ayah mereka mengekpresi dukacitanya atas kerugiannya terutama anaknya yang lebih tua (tidak jelas yang mana) yang baru lulus SMU dari sekolah Islam Witthaya dan baru mendaftar memasuki perguruan tinggi latihan polisi. Selain itu ada sebuah informasi yang menunjukkan bahwa kaum militant yang mengoperasikan gerakan, dan mungkin bahkan semua pergerakan itu sendiri, kemungkinan tidak berhubungan dengan elit tradisional (terutama pemimpin agama. ed). Misalnya, Bangkok Post April 27th melaporkan bahwa telah menemukan selebaran yang tersebar di tiga provinsi selatan adalah Jalan Dalohala-Raman, di Amphoe Raman, provinsi Yala, di Amphoe Khokpho, provinsi Pattani, dan di Amphoe Roesoh, provinsi Narathiwat. Dalam selebaran itu terdapat gambar seorang pemimpin agama sedang memberikan sesuatu kepada polisi berseragam. Sebebaran diltulis dalam bahasa Thai meminta pemimpin agama Islam harus menghentikan perannya dalam bekerjasama dengan polisi dalam memberikan informasi intelijen mengenai kerusuhan di Selatan.
Permintaan tersebut mungkin akan menunjukkan bahwa kebanyakan pemimpin agama tidak memiliki keterlibatan dengan pergerakan. Mereka tidak ada hubungan sejati dengan kaum militant atau pergerakan. Saya agak curiga bahwa bukan kaum militant itu sendiri atau pergerakan yang mereka pimpin memiliki hubungan yang nyata dengan elit tradisional. Faktanya, penangkapan atau tuduhan yang diberikan terhadap “biang keladi” oleh petugas pemerintahan, hingga sekarang ini belum memiliki bukti yang jelas untuk memenuhi tuduhan. Saya telah berkesempatan membaca dua kasus dalam “Laporan Studi Kasus…” yang disiapkan oleh agen inteligen militer dari Direktorat Keamanan Dalam negeri untuk angkatan bersenjara IV dari wilayah divisi II, yang berusaha mengkaitkan semua pergerakan dengan elit tradisional baik lokal maupun tingkat nasional. Tetapi semua kesimpulan laporan itu tanpa dasar, curiga tanpa sebab dan mungkin sengaja menginterprasi bukti untuk sesuai dengan cerita yang diciptakan mereka sendiri (akan tetapi dipercayai oleh para pemimpin nasional). Jadi penulis masih mengkonfirmasi bahwa gerakan rakyat kecil, dan yang menggerakkan operasi tersebut tidaklah berkaitan dengan pemimpin tradisional di tingkat lokal.
Saya juga merasa tidak yakin apakah organisasasai-organisasi anti pemerintah Thai yang terkenal seperti PULO, BRN, Bersatu, dlan lain sebagainya[2] memiliki kaitan dengan gerakan tersebut seperti yang ingin mereka nyatakan.[3] Tentu saja, mereka mendukung dan memuji aksi rakyat kecil, walaupun mereka tidak mendukung gerakan secara langsung tetapi mereka mempunyai tujuan politik yang sama. Sebenarnya gerakan seperti PULO, BRN, dll. Kelihatan kurang memiliki kekuatan organisasional dalam mengelola aksi-aksi. Mereka tidak pernah memiliki kecakapan untuk menggerakkan suatu operasi gerakan dalam skala yang besar dan secara terus menerus seperti garakan ini.
Patut diperhatikan bahwa pernyataan yang diumum oleh PULO setelah peristiwa pada tanggal 28th April belumlah mengaku bertanggungjawab atas peristiwa tersebut, yang mana hal ini menunjukkan bahwa PULO sendiri bisa jadi tidak mengetahui banyak tentang “pahlawan” yang telah mereka puji atas pengorbanan dan keberaniannya. Pernyataan PULO cenderung untuk lebih menjaga para “pahlawan” itu tanpa nama, meskipun mereka pasti mengetahui bahwa pemerintah Thai tidak akan mengalami kesulitan untuk mendapatkan nama-nama mereka dan keluarga dari kaum militan yang meninggal.
Ideologi Pelaku Utama
Media massa yang menerima informasi dari pemeintah atau penjabat posisi tinggi secara patuh menggambarkan para militan sebagai kelompok separatis yang mau berpisah dan membangun negeri Pattani yang merdeka dari kontrol politik negera Thai, pada waktu yang sama mereka mendapat kan inspirasi dari pengikut varian ajaran Islam yang ekstrim.
Hal itu benar bahwa ada sejumlah bukti pada kaum militant yang meninggal atau yang diperoleh dari hasil interograsi kaum militant yang telah ditahan bisa jadi mendukung penafsiran semacam itu. Tetapi, mari kita lihat secara lebih teliti tentang ideologi yang telah dikatakan di atas.
Sekalipun kaum militan dan pergerakan mereka (termasuk organisasi-organisasi yang mendukungnya seperti PULO) mungkin ingin membangun negeri Pattani merdeka, hingga tanggal 28th April organisasi-organisasi ini tidak melakukan apa-apa yang membantu mewujudkan pemisahan politik dalam tindakan yang nyata di situasi dunia sekarang sekarang ini. Tidak muncul upaya yang serius untuk mendapat pengakuan, pemahaman, dan simpati dari negeri berkuasa untuk kesatuan politik yang akan lahir baru ini. Bahkan tidak muncul juga penyebaran penderitaan orang Muslim Melayu di bawah pemerintahan Negeri Thai yang beragama Buddha ke dunia luar.
Di dunia sekarang ini, pemisahan politik dari negara yang secara ekonomi dan politik sepenting Thailand tidak mungkin berhasil kalau tidak dapat pengakuan, paling tidak dengan secara implisit dari Negara-negara yang kuat. Dalam hal ini, seperti Amerika Serikat, Cina, Uni Eropa, Jepang, ataupun negeri-negeri ASEAN, akan lebih dapat keuntungan dari negeri Thailand yang stabil, utuh secara nasional dan memiliki ketenangan, daripada negeri Thailand yang hancur-hancuran dan menjadi kacau.
Aktivitas yang masih berlanjut dari kaum militan seperti membunuh petugas negara atau penyerangan terhadap sejumlah kecil pasukan keamanan pemerintah, membakar sekolah dan kantor-kantor pemerintahan bukan cara yang masuk akal untuk pendirian Negeri merdeka. Ini tidak mungkin bagi kaum militant biosa mengalahkan pasukan bersenjata Thai. Lebih dari itu, Semakin memakai perlawanan seperti ini, semakin menghilangankan dukungan dari orang-orang terhadap mereka. Dan operasi tidakbertanggungjawab yang menghasilkan hilangnya dukungan massa seperti membakar sekolah semakin tidak memberi kemungkinan bagi mereka untuk mengalahkan Negara Thai melalui kekerasan. Sementara itu kemampuan mereka untuk menyusun keresahan akan semakin terbatas.
Masyarakat umum Thai tidak mungkin bersimpati terhadap tindakan kekerasan seperti itu, dan pemisahan politik dari negara Thai akan secara pasti memerlukan persetujuan. Sementara itu, pihak gerakan separatis tidak lah pernah secara serius berusaha untuk menyampaikan posisinya kepada publik Thai (baru belakang ini saja bahwa beberapa selebaran milik organisasi ditulis dalam bahasa Thai. Sebelumnya semuanya ditulis dalam bahasa Melayu lokal dengan aksara Jawi semua). Tindakan kaum militan, dengan demikian, malahan membuat publik Thai menolak pemisahan politik tersebut dengan keras.
Pertanyaan yang perlu ditanya adalah apakah organisasi-organisasi itu benar-benar ingin memisahkan diri secara politik, atau apakah mereka hanya menggunakan isu pemisahan negara supaya memicu rakyat kecil untuk bangkit dengan memakai senjata, padahal tujuan asli organisasi hanya untuk mendapat kan keuntungan dalam bernegosiasi.
Organisasi-organisasi ini tidak pernah merencanakan masa depan Negara baru yangjelas dan nyata. Beberapa pernyataan PULO telah menyatakan tentang kekayaan dalam sumber alam di ดินแดน “Melayu Pattani”. Daerah ini memang subur, tetapi sumber alam itu dalam bentuk apa tidak pernah disebutkan dalam pernyataannya (PULO telah menyebutkan keberadaan tambang emas, tetapi dalam kaitannya dengan masa lalu). Hal ini akan menunjukan bahwa PULO sendiri tidak ada rencana yang jelas tentang negara Pattani yang merdeka, siapa akan boleh menggunakan sumber alam dan bagaimana cara mendistribusikan sumber alam itu kepada orang-orang; peran apa yang akan diberikan kepada 20% penduduk yang bukan Melayu Muslim yang sangat berpengaruh bagi ekonomi di daerah perkotaan; dan bagaimana cara berhubungan dengan kapitalis dari luar yang menginvestasi di bidang industri penangkapan ikan dan industri berkaitan dengannya, jadi jelas bagaimana kekayaan sumber alam itu akan dilaksanakan secara adil bagi semua pihak.
Lebih lanjut, identitas budaya negara Pattani baru lebih tidak jelas, daripada pememkaian bahasa dialek lokal dan agama Islam. Tetapi apakah negeri baru ini akan menjadi negeri Islam? Apa yang dimaksud dengan “Negeri Islam” pun memiliki aneka ragam penekanan. Bagaimana ajaran Islam akan menentukan negara Patani?
Orang-orang selalu bicara tentang kemuliaan keagungan Pattani pada masa lalu, tetapi kebangkitan sejarah Pattani tidak terjadi dari perlakuan gerakan separatis. Bagian akhir buku Hikayat Pattani ditulis oleh Ibrahim Syukri, yang setahu saya, tidak berkaitan dengan gerakan separatis mana pun. Lagi pula, naskah bahasa Melayu yang disebarkan dalam bentuk mimeograf ditulis dalam huruf Rumi dan Melayu tinggi, yang berarti kebanyakan rakyat kelas bawah tidak bisa membacanya. Sebenarnya versi bahasa Thai yang diterjemahkan oleh institut akedemi negeri Thai diterbitkan lebih banyak daripda versi asli, dan disebut dalam karya akademi lebih banyak juga.
Di tengah-tengah kekosongan ideologi, masjid Kreuse menjadi satu-satunya symbol budaya yang tangguh bagi orang-orang desa. Usaha untuk membangkit-bangkitkan kris Pattani, atau pencarian dan reproduksi teknologi kuno, adalah proyek yang dilakukan oleh akademisi Thai (kerja sama dengan penduduk desa di tingkat local) dan disubsidi oleh Thailand Research Fund milik pemerintah Thai. Ini di representasikan di lingkungan akademisi Thai sebagai kebudayaan lokal negara Thai. Tidak ada konteks negeri Pattani merdeka dari kewenangan politik Thai, baik masa lalu dan masa depan.
Say percaya bahwa organisasi-organisasi separstis bermimpi tentang negeri Pattani merdeka, atau setidaknya bebas dari “penindasan” negeri Thai. Tetapi organisasi-organisasi ini dan terutama kaum militan hanya melihat idea yang dikhayalkan ini dengan samar-samar saja. Tetapi itu tidak penting, karena negeri Pattani yang dibayangkan itu hanya merupakan simbol atau lebih kehususnya disebut sebagai sebuah negeri khayalan…sesuatu-atau apa saja-yang bukan realitas sekarang. Tak seorangpun yang bisa memberi konseptualisasi tentang negara yang nyata, oleh karena itu yang kita miliki hanyalah sebuah negara fantasi. Itu tidak akan menjadi kenyataan di masa depan, karena tidak ada cara yang nyata pada masa sekarang ini untuk mencapai cita-cita itu.
Bahkan salah satu dari pernyataan PULO sendiri pun menerangkan bahwa “dengan sumber alam dari darat dan laut dua-duanya kita bisa membangunakan negeri sekaya Brunei, saudara kita” membuktikan bahwa semua itu hanyalah negara hayalan saja.
Sebagaimana halnya dengan agama Islam, sejumlah pegawai pemerintahan dari jabatan tinggi dan beberapa laporan dinas rahasia berusaha mengkaitkan gerakan sosial ini dengan Muslim fundamentalisme internasional, baik dana dan ideologi. Kenyataannya tidak ada satupun bukti nyata yang membuktikan akan fantasi ini. Beberapa laporan rahasia dinas mengumpul riwayat hidup orang Muslim asing yang mengajar di beberapa sekolah dan pondoks di selatan, tidak ada seorangpun yang jelas bisa disebut bawah mereka adalah pengancam keamanan nasional. Kebanyakan dari mereka yang tidak diizinkan untuk memperpanjang tinggal oleh kantor immigrasi. Jadi mereka pergi ke Malaysia dan kembali masuk ke Thailand sebagai turis dan tinggal secara tidak sah, tidak berbeda dengan para buruh yang berpindah melarikan diri dari kemiskinan di negerinya untuk mencari kerja di Thailand. Seorang asing yang dicuriga menyepelekan keamanan nasional Thai secara rahasia masuk kembali dari Malaysia ke Thailand ternyata tidak lah bisa mendapatkan posisi pekerjaan sebagai pengajar di sekolah seperti dahulu, dan hal ini telah menjadikanya sebagai penyelundup daging sapi yang tidak sah secara hokum dari Malaysia. Jelas sekali dia bukan ulama terpelajar yang mendapat penghormatan dari orang-orang. Dia tidak banyak berpengetahuan dalam ideologi fundamentalisme Islam, dan tidak terlihat sebagai penganut yang setia kepada kelompok militan radikal seperti Al Qaeda. Dia hanyalah orang miskin yang harus berjuang untuk hidup dalam dunia tanpa batasan seperti sekarang ini.
Kalau kita memikirkan apa yang dimaksud dengan aspek perilaku “ke-Islam-an” kaum militant akan ketemu bahwa hal itu terdiri dari beberapa prinsip dasar yang semua orang Muslim telah terbiasa. Tidak ada satu pun yang memberi kesan bahwa para militan itu atau organisasi-organisasi mempunyai pengetahuan Islam yang mendalam. Polisi dan tentara suka mengkaitkan pergerakan dan kaum militant pada pengajar agama Islam dengan pengajar agama (toh khru) atau pemikir Islam asing. Tetapi kalau hubungan itu benar-benar ada tidak ada ajaran Islam yang amat mendasar dalam gerakan sosial ini. Tidak ada dokumen yang bisa menjelaskan alasan kaum separatis dengan doktrin ajaran agama. Salah satu pernyataan PULO secara sengaja mengutip Quran yang menerangakan bahwa “tidak boleh hidup di bawah kekuasaan kafir (penyembah berhala); sebenarnya orang-orang yang menanggap kafir sebagai penguasanya tidak akan berhasil baik dunia ini maupun akhirat.” meskipun demikian, pengamat Islam yang penulis telah berkonsaltasi menyatakan bahwa tidak ada istilah itu dalam Quran dan istilah yang bisa dianggap bahwa artinya dekat dengan ayat tersebut bisa ditafsirkan menjadi banyak makna. Lagi pula pernyataan yang menyebut “Bangkit, saudara-saudari Melayu Pattani dan Melayu dimana-mana! Bangkit untuk memperjuangkan ketidakadilan Siam dalam semua bentuk!” tidak dimaksudkan untuk disampaikan kepada pendengar Muslim.
Beberapa surat kabar melaporkan bahwa militan yang meninggal mengenakan pakaian yang bertukiskan huruf Arabic “tidak ada tuhan-tuhan kecuali Allah.” (la illaha illa allah- ed) Penyataan ini dalam bahasa Arab adalah sesuatu yang sudah lazim bagi semua orang Muslim sama dengan disebut orang Buddha “Namo tassa”, Karena adalah setengah penyataan agama dalam bahasa Arab yang semua Muslim harus mengucapkan, “Tidak ada tuhan-tuhan yang lain selain Allah itu sendiri dan Nabi Muhammad adalah utusan Allah.”[4]
Beberapa media menyebutkan pesan lain yang dituis dalam huruf bahasa Arab di belakang pakaian orang yang mati diterjemahkan secara longgar yang kemudian artinya menjadi: “biar saya mati untuk tuhan”. Sebenarnya, “Lâ ilâha illâ Allah" berarti, menurut orang desa di desa Dato, “tdiak ada tuhan lain yang patut untuk dupuja selain Allah” (sebenarnya, ini adalah bagian awal dari pernyataan tentang keimanan beragama untuk orang Muslim seperti sebut di atas). Secara tradisi, ketika orang sakit hampir meninggal, saudara dan teman-temannya akan mengajarnya mengucapkan setengah pertama penyataan agama ini, karena mereka percaya bahwa Nabi Muhammad juga mengucapkannya sebelum meninggal dunia (Srisakra, p.33).
Jadi, sebanyakanya maksud tulisan bahasa Arab di belakang pakaian para militan adalah mereka siap untuk mati. Atau mereka mungkin menggunakan ucapan penting ini untuk orang Muslim sebagai mantra, karena ungkapan bahasa Arab mana yang akan lebih “suci” bagi orang desa Mulsim daripada ucapannya?
Sama dengan, ungkapan “Allahu Akbar", atau “Allah maha besar”, yang menurut beberapa laporan media melapor bahwa para militan bersuara ketika menyerang pihak polisi. Ucapan pemujian Tuhan ini sudah biasa bagi orang Muslim seluruh dunia dan telah mengucapkannya selama berabad-abad. Dan ucapan ini boleh dikatakanlah sebagai sebuah kata “suci” juga.
Semua bagian tersebut menunjukkan bahwa pemahaman agama Islam kaum militan agak bersifat dasar dan tidak begitu berbeda dari pengetahuan agama Islam yang dilakukan di antara orang Muslim biasa. Ini juga muncul seiring dengan kesimpulan yang sudah disebut di atas bahwa gerakan sosial tidak berhubungan dengan elit tradisi. Pengetahuan kaum militant mengenai Islam tidaklah amat dalam jika dibandingkan dengan apa yang dimiliki oleh toh khru.
(Sebenarnya, meskipun polisi dan pemerintah mengatakan bahwa tidak ada bukti apapun tentang hubungan antara para militan dan sekolah pondok. Misalnya, ketika ada laporan bahwa senjata api disembunyi di dalam beberpa sekolah pondok, pasukan keamanan yang dikirim untuk menyelidiki tidak pernah menemukan bukti tindakan tidak sah. Pemerintah selalu berkesimpulan bahwa kegagalan pencarian senjata api disebabkan kebocoran inteligensi…Jadi, kalau senjata apai ditemukan akan meyakinkan kecurigaan pemerintah; tetapi kalau mereka tidak menemukan apa-apa masih tidak lepas dari curiganya. Kapan pemerintah akan mempertajam kecurigaan atas kecurigaannya sendiri?)
Ada laporan media satu lagi yang mungkin membuat orang salah mengerti. Orang-orang desa yang masih pertalian saudara dengan para militan yang meninggal tidak membolehkan acara mandi mayat untuk orang mati. Beberapa media mengatakan bahwa hal ini didasarkan dari kepercayaan bahwa orang yang meninggal dalam jalan Tuhan tidak boleh mandi mayat sebelum dikebumikan. Tetapi menurut adat Muslim di Thailand selatan, orang yang mati tenggelam, mati terbakar, atau mati digigit binatang liar, atau sudah mati beberapa hari, atau mati karena membela negara atau agama, sama sekali tidak akan dimandikan mayatnya (Srisakra, hlm.18) (semuanya adalah kematian dari kekerasan). Ini berjalin dengan ide kebersihan yang merupakan sesuatu yang penting bagi ajaran Islam. Jadi upaya saudara orang-orang yang meninggal untuk mempertahankan jenasah tersebut untuk tidak dimandikan adalah hal yang biasa yang selalu dilakukan dalam kalangan masyarakat Muslim, dan tidak harus mempunyai arti politik apa-apa.
Jadi reaksi yang dimiliki oleh kaum militant terhadap negara Thai tidak berakar dari ideologi politik yang baru atau ideologi agama yang akhir-akhir ini telah mereka indoktrinasikan. Tetapi, seperti yang saya ingin sampaikan dalam karangan ini, perubahan yang mempengaruhi orang desa tidak disebabkan ideologi apa pun. Masalah lebih berkaitan dengan akibat dari perubahan ekonomi dan sosial terhadap orang desa itu.
Tentu saja, sebagai kontras terhadap Islam, kalau kita mengikuti laporan yang telah disebarluaskan melalui media, penulis merasa bahwa hal itu merupakan kepercayaan yang bersifat tahyul (yang dilarang oleh agama Islam) yang justru berperan penting dalam konflik ini.
Beberapa media melaporkan bahwa pada tanggal 28 April 2004 para militant memakai tasbih (beberapa laporan bilang warnanya putih) dan mengikat kepalanya dengan pita merah. Sementara itu media memberi perhatian kepada pita merah karena dibandingkan dengan kelompok Hamas di Palestina.P enulis justru berpikir bahwa yang lebih menarik adalah tasbih yang dipakai. Apa alasan yang mereka harus mengenakan tasbih yang bukan peraturan agama Islam, dan sebenarnya tidak perlu untuk upacara sembahyang agama Islam? Sekte Islam yang biasanya memakai tasbih adalah Sufi, yang Sunni mainstream tidak begitu setuju. Dalam sejarah Islam Sufi pun pernah memberontak melawan ulama Sunni dan pemerintahnya beberapa kali, dan pemborontakan ini juga dibubarkan oleh Sunni beberpa kali. Tetapi tasbih hanya alat untuk dipakai dalam meditasi Sufi bukan jimat untuk si pemakainya. Alasan kaum sufi yang “rishi” ["pertapa" trans.] memakainya di leher hanya mencegahnya supaya tidak hilang.
Bagaimanapun kelihatan bahwa pengetahuan para militan tentang Sufi tidak begitu yang mendalam. Pemuda Sabayoi mengatakan bahwa mereka penganut “Latthi Supri” [Sufi]. (perhatikan dari ucapan kata ini; kata “f” tidak ada dalam bahasa Melayu, jadi kosa kata Arab yang berkonsonan suara ini bisa sebut dua suara, yaitu dengan huruf “f” atau “p” yang paling dekat dengan suara dalam bahasa Melayu. Orang berpendidikan bisa menyebut suara “f” sebaliknya orang dusun biasa akan menyebut suara ini jadi “p”. Contohnya, kata faham dalam bahasa Arab – artinya mengerti – orang desa akan menyebut bahwa “paham”. Pemanggilan pemuda pada Sufi jadi “Supri” atau "Supi" juga tercermin tingkat pendekatan mereka dengan Sufi yang asli). Para pemuda bercerita bahwa menurut prinsip Sufi mereka harus melakukan upacara “ma-umna” sebelum menggerakan operasi, yang terdiri dari meditasi, menyanyi syair suci, dan menghitung “gacabek” atau tasbih. Upacara ini dilakukan diam-diam di dalam gua selama satu bulan. Kalau mereka sudah siap untuk memulai operasi mereka harus minum segelas air suci (Matichon, 2 Mei 2004).
Proses penyanyian syair suci sebelum menyerang kantor polisi dilaporkan dalam hampir semua media. Salah satu saluran TV melaporkan bahwa polisi menemukan salah satu saluran TV yang melaporkan bahwa politsi telah menemukan syair suci dalam baju mayat seorang militan. Bagaimanapun ketika polisi menyelidiki akarnya mereka menemukan bahwa syair suci itu milik seorang lelaki Muslim yang bukan militan. Dia memberikan kesaksian bahwa dia memang pemilik syair suci itu, tapi sebenarnya itu adalah milik ayahnya yang telah meninggal dan pernah bekerja sebagai polisi. Syair suci itu memberikan kekuatan kekebalan kepada pemiiknya, misalnya kemampuan menyembunyikan dirinya dari musuh atau melindungi dirinya dari senjata. Militan yang meninggal meminta syair suci itu dari dia tetapi dia tidak tahu apa yang harus dilakukan terhadap syair itu.
Ada laporan yang lain dari masjid Kreuse mengatakan bahwa setiap militan harus minum air berwarna biru sebelum menyerang. Penulis percaya bahwa air itu adalah air suci daripada obat (yang mendorong agresifitas seperti dari jenis lexotan -ed).[5]
Kepercayaan bahwa mereka dilindungi oleh keajaiban ini memberikan keberanian yang luar biasa kepada para militan pada tanggal 28th April 2004 yang komandan angkatan darat memberikan wawancara bahwa “dari pengalaman dalam perang kita tidak pernah menemui pejuang yang berani, nekat luar biasa seperti ini” (Matichon, 2 Mei 2004). Dan sama dengan pemberontakan yang menggunakan ilmu hitam pada masa lalu. Ketika meraka mnerasa bahwa mantra tidak bisa melindungi mereka dari musuh, mereka melarikan diri menyelamatkan hidupnya, seperti kasus 16 mayat yang ditemukan di Sabayoi. Sesudah kehilangan teman-temanya dalam serangan, mereka melarikan diri dan bersembunyi di dalam restoran lokal, tetapi diikuti oleh petugas yang membunuh mereka semuanya. Kasus masjid Kreuse, walaupun kita tidak bisa mengetahui apa yang terjadi dengagn jelas, tetapi para militan melepaskan tiga sandera (Bangkok Post, 29 April 2004), kelihatan bahwa ada kemungkinan peluang untuk perundingan. Sepertinya mereka telah merasa ragu terhadap keampuhan dari kekuatan tahyul (supernatural).
Pemberontakan Seributahunan
Penulis telah menyusun semua informasi ini untuk memperdebatkan bahwa kita tidak akan mengerti gerakan sosial di Thailand Selatan jika kita hanya mendasarkan pada hanya satu teori (atau perspektif) yang memfokuskan diri pada aspek “biangkeladi”, atau teori yang ingin menjelaskan hanya beberapa kejadian yang tertentu saja sementara mengabaikan kejadian lain yang terjadi berhubungan dengannya. Jadi teori yang dipresentasikan oleh pemimpin pemerintah dan pegawai negeri saling menyangkal (dan bahja beberapa kali menyangkal diri sendiri sekali pun) dan tidak bisa menjelaskan semua kejadian dalam teori itu.
Penulis ingin memperdebatkan bahwa teori mana yang akan bisa menjelaskan gerakan sosial ini haruslah memfokus pada sejumlah besar “rakyat kecil” yang mengikutsertakan diri dalam pemberontakan. Merekalah yang menjadi hakekat yang sejati dalam gerakan sosial ini, dan gerakan ini harus dimengerti sebagai pemberontakan “millenarian” dalam abad keduapuluh satu.
“Millenarian movements” yang disebut dalam bahasa Thai sebagai “pemberontakan petani” (kabot chao na) atau “pemberontakan Phra Sri-arn” (kabot phra sri-arn) adalah gerakan perlawanan rakyat kecil pada tingkat lokal, misalnya petani, buruh menyadap dalam hutan rimba, nelayan pantai, penernak hewan berkeliling, buruh tambang, orang pribumi, dll. Rakyat kecil ini secara regular melakukan perlawanan terhadap perubahan yang tidak begitu mereka mengerti, tetapi sebenarnya perubahan-perubahan yang berasal dari luar telah menghancurkan kehidupan mereka. Kekuatan dari luar itu sering dari pemerintah pusat atau petugasnya, pedagang luar, kapital dan kapitalis (karena mereka mempunyai cara untuk memusnahkan para kapitalis lokal, misalnya menuduh mereka adalah hantu menghisap darah), organisasi agama baru, dan lain sebagainya
Karena perubahan-perubahan yang mempengaruhi terhadap rakyat kecil terjadi seluruh dunia dalam abad kesembilanbelas, jadi terjdi banyak pemerontakan yang muncul setiap seribu tahun dalam banyak negara seluruh dunia. Dan karena ada banyak informasi tentang gerakan sosial ‘pemerontakan seributahunan’ (millenarian movement) dalam abad kesembilanbelas dipakai sebagai model untuk menjelaskan gerakan yang rupanya sama pada abad lain juga. Bagaimanapun kita harus berhati-hati, dengan penjelasan yang didasarkan pada pola pemerointakan seributahunan pada abad sebelumnya berbeda dengan kontek dunia yang berada sekarang. Contohnya, komunikasi yang lebih bagus memudahkan pemberontakan tersebut bisa beroperasi di daerah yang lebih besar daripada daerah lokal yang sempit seperti dahulu. Kapasitas berjalan organisasi juga jauh lebih efisien, tidak termasuk kemajuan dalam teknologi yang menghasilkan senjata-senjata pembawa maut lebih banyak.
Seperti dikatakan di atas, rakyat kecil ini tidaklah mengerti betul tentang perubahan yang mempengaruhi kehidupan mereka dengan jelas. Akibatnya, mereka tidak mengetahui siapa yang menjadi musuh sejati mereka. Pengerahan mereka untuk melawan mungkin dilakukan tanpa sasaran yang telah ditentukan. Mereka berkecenderungan mengarah pada sasaran yang menjadi simbol musuhnya daripada musuhnya sendiri, karena musuhnya ada di luar dan tinggal jauh sehingga kemarahan rakayat kecil tidak dapat menyampai. Salah satu contoh ‘pemerointakan seributahunan’ di Thailand adalah pemberontakan Ngiaw di Phrae pada akhir abad kesembilanbelas. Pemberontak berkehendak untuk membunuh hanya “orang Thai” di daerah lokal di Thailand utara, terutama petugas yang dikirim dari pemerintah sentral. Dalam kasus Thailand Selatan sekarang, petugas-petugas yang diserang adalah polisi atau tentara yang berpangkat rendah, guru, kepala desa atau wilayah, dan satpam rumah sakit pun. Kebanyakan tempat pemerintah yang dibakar adalah pos pemeriksaan yang terpencil atau ditinggalkan. Semua sasaran ini sangat kecil sehingga kerugiannya tidak terasa oleh negeri Thai yang mereka anggap sebagai musuh mereka. Seorang warga dari dusun di Yaring menguraikan bahwa kalau para militan benar-benar ingin membakar sekolah-sekolah, mereka bisa membakar sebuah sekolah setiap hari. Tatapi karena pembakaran merupakan simbol saja, maka mereka memilih membakar sekolah yang terletak dekat dengan jalan dan dapat dicapai dengan mudah, yang lebih bahaya daripada pembakaran sekolah yang terpencil yang jauh dari petugas negeri (catatan dari sebuah pembicaraan antara akademisi dengan orang desa, dalam Srisakra, hlm. 29).
Berkenaan dengan ideologi dan organisasi rakyat kecil ini ada kecenderungan dari mereka untuk tidak memikirkannya dalam pemikiran idelogis yang kompleks. Pikiran mereka diperoleh dari prinsip agama populer tetapi tidak begitu berhubungan dengan organisasi-organisasi agama. Jadi kepercayaan agama yang mereka miliki bukanlah agama yang diajarkan oleh ahli agama, seperti halnya pada“pemberontakan petani” yang dipimpin oleh tokoh agama, seperti Chao Phra Fang yang diikuti oleh jatuhnya Ayuthaya pada tahun 1767, pemimpin sering mengambil pratik agama yang menyimpang dari kebiasaan yang berbeda norma agama yang diakui oleh organisasi agama; misalnya dikatakan bahwa Chao Phra Fang berjubah merah. Pada waktu yang sama pemimpin-pemimpin bertergantung pada kekuatan kegaiban, yang bersesuaian dengan karakteristik pemberontakan petani yang cenderung tergantung atas kharisma pribadi pemimpin. Contohnya, dalam “pemberontakan Orang Suci” pada kekuasaan Raja Chulalongkorn, pemimpin kebanyakan adalah bekas biksu yang mempergunakan masa kehidupannya dalam biara dan bisa menyelenggarakan tindakan keajaiban, misalnya menaruh tangan mereka dalam minyak mendidih, dan lain sebagainya. Kepercayaan serupa itu juga bersesuaian dengan senjata-senjata kaum pemberontak yang terbatas. Kebanyakan senjata yang dipakai mereka adalah alat pertanian yang tersedia dengan mudah.
Karena pemberontakan adalah reaksi terhadap perubahan yang tidak menyenangkan, contohnya penggantian dari jenis pajak berupa produksi atau jasa ke pajak moneter, atau pengeluaran petani dari penggunaan sumber alam yang yang pada masa lampaunya mereka bisa menggunakannya secara bebas, misalnya pelarangan memotong kayu di hutan, ideologi pemberontakan seributahunan sering menberi harapan tentang sebuah negara ide atau khayalan yang akan datang di mana semua orang sama, antara lelaki atau perempuan pun tidak berbeda, atau di mana yang tidak ada harta pribadi. Idealisme seperti ini seringkali terdapat di dalam ide komunitas pertanian kecil yang terbiasa dan secara mudah memahami kaum “miskin” pada umumnya.
Dan karena pemerontakan seributahunan berasal dari rakyat kecil yang tidak menikmati jalur politik yang penting, gerakan ini seringkali tidak berhubungan dengan elit tradisional. Misalnya, mereka tidak berhubungan dengan pemimpin institusi agama, kaum terpelajar, pemimpin politik lokal, pegawai negeri, atau kapitalis. (Bagaimanapun mereka mungkin menerima dukungan secara diam-diam dari pihak tertentu yang mendapat kepentingan dari pemberotakan seributahunan supaya mendapat kekuasaan dan pengaruh; misalnya dipercayai bahwa pemberontakan Ngiaw di Phrae didukung diam-diam oleh beberapa pemimpin local). Ketiiadaan elit tradisi berarti membuat peluang untuk pelawanan menjadi terbatas, tidak hanya dalam term geografi saja tapi dalam term politik juga, media massa, akademi, agama, pendidikan, dan ekonomi juga. Kebanyakan kasus, peluang untuk perjuangan sudah ditutup sama sekali. Satu-satunya yang masih tinggal untuk mereka adalah melawan kewibawaan. Kalau provokasi ini ditaklukkan oleh pemerintah akan terjadi konflik yang bersenjata sebagai balasan.
Penulis percaya bahwa kita hanya bisa menjelaskan gerakan sosial berskala besar di Thailand Selatan adalah dengan melihatnya sebagaipemeberontakan seributahunan. Perbedaan antara contoh dari abad kesembilanbelas dengan yang sekarang adalah perubahan dalam konteks dunia yang dikatakan di atas. Misalnya, beberapa berita mengatakan bahwa signal yang diberikan untuk mengawali operasi pada tanggal 28th April 2004 adalah acara radio lokal yang populer seluruh Thailand Selatan bagian bawah. Pengololaan organisasi sekarang lebih efisien daripada pemberontakan seributahunan pada abad kesembilanbelas, tetapi perbedaan itu hanya disebabkan oleh teknologi komunikasi moderen.
Hubungan yang berada antara kaum militan dan elit tradisional, apakah mereka itu adalah toh khru, imam, politikus lokal, atau organisasi anti pemerintah, agak bersifat permukaan, atau setidaknya hubungan yang lebih mendalam belum dibuktikan.[6] Jadi perkumpulan gerakan ini dengan sejarah yang panjang dari “pemberontakan” negara Pattani yang tejadi pada abad lalu tidak membantu menjelaskan apa-apa. Sebenarnya, gerakan sekarang ini merupakan representasi pematahan dari gerakan politik dahulu yang dipimpin oleh elit tradisi, baik keturunan keluarga raja, toh imam, atau politikus lokal pun (yang terada dalam kaum elit dalam masyarakat Thai, atau dengan kata lain, mereka adalah kelompok yang mendapat keuntungan dalam masyakat Thai…mencoba melihat latar belakang Wan Muhammad Noor Matha, Den Tohmeena, Aripen Uttarasin, dll. Mereka telah “menginvestasi” secara mendalam dalam sistem sosial Thai, dan pada waktu yang sama sudah mengambil “keuntungan” besar juga dari itu, sama dengan orang yang bisa memberikan waktunya untuk belajar agama dan menjadi toh khru atau toh imam, yang di banyak tempat dipertahankan bagi keluarga tertentu, atau sama dengan orang yang pergi ke Mekah untuk naik haji dan kembali menjadi sehorang Haji). Makanya sangat sulit untuk elit-elit ini – dua-duanya elit tradisi dan elit baru yang muncul dari perubahan moderen –untuk melibatkan diri dalam gerakan sosial yang tidak bertujuan dan tatacara yang jelas untuk mencapai keberhasilan. Lebih dari itu, apa yang bisa dikatakan sebagai tujuan pergerakan juga bukan kepentingan mereka, malahan mungkin bertentangan dengan kepentingan mereka sendiri.
Bagaimanapun, ini tidak berarti bahwa orang dusun tidak memiliki pengetahuan sejarah yang akan mengkaitkannya dengan gerakan di masa lalu. Orang dusun mempunyai versi sejarah Pattani sendiri dalam ingatan mereka. Orang desa di desa Datoh masih ingat makam yang dikelilingi oleh pagar di makam Yaring milik Pemimpin Pattani dan keluarganya. Mereka ingat bahwa pemimin ini dahulu adalah raja Trengganu yang menduduki Pattani tapi diserang dan dikalahkan oleh pasukan Thai. Demikian pula tidak ada siapa pun yang membawa mayatnya kembali untuk dibumikan di makam ini, dan tidak ada siapa pun yang pernah berkunjung ke kuburan ini juga (Srisakra, hlm.19-20). Tetapi yang sudah dikatakan di atas, gerakan ini adalah pemberontakan seributahunan, jadi bukan pergerakan yang diteruskan dari perjuangan terhadap negeri Thai oleh elit tradisi pada masa lalu.
Jika ada beberapa hubungan antara gerakan ini dengan masa lalu, kemungkinan adalah peristiwa Duson Nyoir incident pada tahun 1948.
Penulis tidak mengetahui bahwa apakah pilihan tanggal 28th April sebagai hari kaum militant yang secara sengaja diputuskan secara bertepatan dengan pemberontaan Duson Nyoir atau tidak. Kalau sengaja, lebih menyakinkan demonstrasi itu memang “pemberontakan seributahunan”, karena peristiwa Duson Nyoir adalah pemberontakan yang memiliki karakter tersebut yang asli dan nyata. Dimulai dari orang desa melatih upacara keajaiban untuk melawan bandit Cina Melayu yang merompak makanan komunitasnya. Tetapi petugas negara mencuriga perilakunya, orang desa menjdi marah dan akhirnya terjadi perlawanan dan[7] dengan keinginan mengurangi kewibawaan negara dari komunitasnya. Dalam hal ini, tidak terlihat bahwa mereka memiliki tujuan politik yang jelas.
Demikian, kalau para militan ingin mengkaitkan gerakannya dengan pemberontakan Duson Nyoir itu adalah hal yang menarik sekali, karena salah satu pergerakan kaum militan yang harus memperhatikan bahwa hubungan dengan mereka adalah pemberontakan seributahunan yang terkenal.
Bagaimanapun, pemerontakan seributahunan adalah gerakan rakyat kecil tingkat bawah, tidak berarti rakyat lain tidak akan ikut campur tangan untuk memainkan perannya dalam gerakan supaya mendapat kepentingan (seperti dikatakan di atas). Organisasi-organisasi anti pemerintah yang telah ada seperti PULO atau BRN pasti ingin menghubungkan dirinya dengan gerakan ini (tetapi seperti dikatankan di atas, penulis merasa bahwa hubungn ini tidak begitu akrab). Persaingan antara politikus lokal juga membawa orang lain untuk ikut campur dalam kepentingan politik. Meskipun begini, penulis masih menegaskan bahwa jantung dari gerakan adalah rakyat kecil rendahan, sementara pihak lain hanya menigikut di garis tepi.
Faktor-faktor yang Menyumbang “Pemberontakan Kaum Miskin”
Sebenarnya, lebih dari satu dasawarsa terakhir, tiga atau empat provinsi di Thailand Selatan bagian bawah mengalami perubahan besar. Kita boleh berkesimpulan bahwa perubahan-perubahan ini sebagai akibat dari perluasan kapital nasional (yang berhubungan dengan kapital transnasional) yang mengakibatkan perebutan sumber alam dariorang-orang desa, beberapa orang tidak bisa menyesuaikan dirinya dengan perubahan-perubahan ini. Penulis akan mencontohkan pengalaman Ajan Srisakra Vallibotama yang ada di Teluk Pattani, yang mendemonstrasikan perubahan-perubahan ini dengan jelas.
“Pada sepuluh tahun yang lalu saya dapat menyaksikan… perubahan ekonomi dan social dari Bangpu sampai Panareh dan Yaring. Perubahan internal termasuk penggunaan perkebunan kelapa yang dekat laut untuk tempat peternakan udang. Perubahan yang dipengaruhi oleh faktor luar merupakan warga desa yang melakukan demonstrasi terhadap konvoi kapal pukat ikan besar. Menurut orang desa konvoi kapal pukat ikan disertai oleh kapal penelitian perikanan milik departemen perikanan. Kapal pukat ikan dengan jala dorong milik kapitalis dalam industri expor ikan menyapu bersih kerang-kerang. Kapal pukat ikan ini bisa menangkap kerang-kerang sepuluhan ton per hari, dan letah menghancurkan bermacam-macam binatang laut yang berbeda. Pada waktu itu nelayan lokal memakai kapal lokal koleh bisa menangkap ikan-ikan paling banyak hanya 12 kilogram per hari.”[8]
Kini konvoi kapal pukat ikan besar milik kapitalis luar telah menghancurkan ikan-ikan dan sumber alam laut di teluk Pattani. Respon balik orang desa terhadap kemerosotan ekosistem ini sangat terbatas, dan beberapa kasus bahkan mempercepat kehancuran proses kemerosotan ini. Srisakra menyatakan perubahan yang terjadi di teluk Pattani bahwa:
“3 atau 4 tahun yang lalu ketika saya kembali ke Panareh, warga desa terpaksa menangkap ikan lebih banyak; dari 12 kilogram dahulu menjadi 20-30 kilogram per hari. Pantai yang dahulu bersih menjadi kotor dari sampah-sampah, ikan, kepiting dan kerang terbusuk (berarti oramg punya waktu sedikit untuk keprihatian umum). Peternakan udang telah menggusur perkebunan kelapa. Ini adalah perubahan internal yang telah terjadi di dalam respon terhadap perubahan external.”[9]
Kapitalis dair luar semakin datang dan mencari kesempatan di daerah Pattani. Penulis pernah lihat anak perempuan keluarga Muslim di desa Rusamilae yang harus keluar dari rumah sejak jam 2 pagi. Sebuah mobil menjemput dia untuk kerja menyorti ikan di dermaga yang ikan didarat dan dilelang setiap hari. Dia harus bekerja dengan para buruh lelaki yang mengangkat bakul ikan dari kapal, yang bertentangan dengan adat setempat yang menanggap perempuan sebagai kehormatan keluarga. Para nelayan harus berhutang meminjam uang untuk pasang mesin untuk kapal koleh; karena tidak ada ikan yang tersisal untuk ditankap lagi, jadi mereka harus melaut lebih jauh. Dan karena mereka berhutang banyak jadi harus menangkap ikan lebih banyak juga, yang berarti perlu punya mesin yang lebih besar dan lebih kuat, mengakibatkan pola berhutang tiada barakhir. Sementara itu, perempuan juga bekerja di dalam kapal tangkap ikan di laut, padahal adat tradisi melarang perempuan menginjak kaki dalam kepal koleh sama sekali.
Hibungan sosial dalam komunikasi juga berubah, dari pola yang saling menguntungkan satu sama lain ke pola hubungan antara kapitalis dan buruh. Srisakra mengatakan bahwa hubungan yang telah berubah merupakan upaya untuk memperoleh keuntungan dan eksploitasi semata. Para kapitalis dari luar yang menginvestasikan modalnya di desa pada dasarnya berbeda dengan kapitalis lokal yang merupakan warga desa yang mana mereka telah terbiasa, karena hubungan mereka didasarkan pada fungsi pekerjaan semata, dan kapitalis yang tinggal jauh bahkan tidak pernah sekali pun datang ke desa tersebut. Warga desa di Chana (Songkhla) tidak pernah bisa mengundingkan dengan pemilik pabrik yang membuang air kotor di sawah mereka. Sama deangan warga desa yang mempunyai tanah penanian di sebelah tempat peternakan udang yang juga terpaksa berhenti dari pekerjaannya. Tentu saja, tuntutan ke bagian pemerintahan tidak menghasilkan apa-apa; gossip dan caci-maki (hinaan), yang dulu adalah cara paling berhasil untuk mengontrol sosial, telah semakin tidak ada artinya lagi sekarang.
Penulis tidak ada informasi tentang penginvestasian dalam kebun karet oleh kapitalis dari luar atau industri yang lain dari luar tiga provinsi selatan ini, tetapi saya dengar dari rakyat setempat bahwa ada cukup banyak juga. Jadi di mana-mana mereka berpaling mereka akan menemui orang yang mereka tidak bisa membangun hubungan kekuasaan yang setara, dua-duanya penduduk lokal yang menjadi kapitalis baru dan kapitalis dar luar. Pada waktu yang sama warga desa semakin kurang kemampuannya dalam memakai sumber alam. Mereka terpaksa menjual harta pribadi dan menjadikan dirinya sebagai buruh yang dapat upah, yang menyebabkan kesulitan bagi mereka untuk melestarikan budaya tradisionalnya yang berakar atas struktur ekonomi dan sosial yang berbeda.
Jadi apa yang dialami rakyat kecil di provinsi Selatan bagian bawah selama beberapa dasawarsa belakangan ini adalah kemiskinan dalam semua bidang. Mereka tidak bisa Tsecara berhasil merespon terhadap perubahan yang selalu menggangu dan membenai mereka secara luar biasa. Sumber terakhir yang mereka melihat adalah sistem pendidikan , tetapi jalan ini tidak begitu terbuka untuk mereka. Salah seorang warga desa di kebupaten Yaring mengatakan bahwa sekarang banyak orang Muslim yang ingin belajar tetapi tidak ada tempat bagi mereka. Mereka percaya bahwa Universitas Prince of Songkhla di Pattani tidak menyediakan jatah untuk pelajar lokal seperti unvisitas-universitas lain (sebenarnya, Universitas Prince of Songkhla di Pattani menyediakan jatah juga, tetapi sama dengan universtitas-universitas daerah lain yang hanya memperhatikan kepada perimbangan jatah, daripada perbedaan antara pelajar dari daerah dan pelajar dari kota). Beberapa orang desa menanyakan bahwa bagaimana pelajar yang tidak lancar bahasa Thai bisa bersaing dengan pelajar Thai kalau universitas memakai standar yang sama untuk syarat masuknya.
Jadi meskipun mereka berusaha menyesuaikan dirinya dengan sistem kapitalis, tetap saja tidak ada peluang untuk mereka. Tidak ada masa depan untuk mereka karena mereka tidak tahu bagaimana cara hidup dalam perubahan yang mereka tidak dapat menimpalinya.
Sebenarnya, nasib ini tidak hanya terjadi pada orang Muslim Melayu saja tetapi terjadi pada rakyat kecil di daerah lain juga. Tetapi disebabkan banyak alasan yang penulis tidak akan ucapkan sekarang (misalnya masalah identitas, atau walaupun mereka mempunyai perasaan pengasingan identitas yang sama, tetapi ada fakor lain yang membatasi pilihan mereka yang lain) rakyat kecil di daerah lain memilih memperjuangkan dalam sistem politik, misalnya Forum Pemikin, Forum Orang Suku, dan lain sebagainya, sedangkan orang Muslim Melayu memilih memperjuangkan di luar sistem.
“Pemberontakan Kaum Miskin” dalam Negeri Moderen
Dalam negeri tradisi pemberontakanseributahunan benar-benar bisa menghancurkan negeri, atau dalam kasus-kasus paling sedikit menggoncangkan dasar-dasar kenegaraan. Contohnya, pemberontakan Tayson di Vietnam yang berhasil merobohkan dinasti Le dan mendirikan rezim politik yang alternatif (bisa dikatakan rezim revolusi) di atas Vietnam untuk periode waktu tertentu sebelum ditaklukkan oleh keluarga Nguyen atau dinasti Gia Long. Di Cina, pemberontakan Taiping menggoncangkan kekuasaan dinasti Ch’ing sampai ke inti kekuasaan dan menduduki hampir setengah Cina sebelum dibubarkan. Chu Yuan-chang, pendiri dinasti Ming, sebenarnya pemimpin pemborontakan seributahunan, tetapi dapat dukungan dari para cendekiawan Cina jadi bisa mendirikan dinasti baru memerintah Cina dengan system dahulu.
Akan tetapi, di dalam konteks negara moderen pemborontakanseributahunan hanya menjadi gangguan kecil saja. Karena kekuatan militan dibatasi dalam daerah yang terbatas sedangkan Negara menjadi lebih kuat yang disebabkan baik oleh manjemen maupun teknologi kentaraan yang canggih. Selain itu kondisi social di negeri moderen juga berkarakter lebih komplek. Kepentingan kuam petani mungkin berlawanan dengan kepentingan kelompok lain, walaupun mungkin bukan mayoritas, tetapi jumlahnya cukup besar dan lebih menguasai kekuatan politik dan berpengaruh secara sosial daripada kaum petani (misalnya keles menengah atau kelas bawah yang berkesempatan mingingtkat ke atas). pemborontakan seributahunan semakin dibatasi dalam perihal ruang sosial. Lagi pula, politik di negara moderen membuka peluang bagi mereka yang memiliki uang, berpendidikan atau memiliki keahlihan dalam manajemen (jelas sekali bukan “kaum miskin”) yang bisa memperundingkan dengan orde yang ada.
Bahkan negara Siam yang mutlak (absolutist) pun mengalami tranformasi menjadi negara moderen pada akhir abad kesembilanbelas juga pernah menghadapi pemborontakan seributahunan yang terjadi seluruh negeri dengan tingkat kesulitan yang tidak berarti dengan mendirikan angkatan bersenjata yang baru untuk menindas pemborontak secara meyakinkan. Lebih dari itu, mereka mempunyai kecakapan untuk memelihara kebijakan yang telah menyebabkan ketidakpuasan diantara orang-orang miskin (peasants) bahkan mereka harus menunda pelaksanaan dari kebijakan yang ada di beberapa wilayah.
Kesenjangan dalam ideologi yang canggih yang bisa menyatu dengan tindakan sosial dari kelompok lain telah menjadikannya terisolasi dari gerakan seributahunan. Di Thailand, pemborontakan seributahunan di Timurlaut pada akhir abad kesembilanbelas direpresentasikan sebagai sebuah gerakan untuk kepentingan pemimpin sendiri, phi bun [“Sang Suci” – trans.], sedangkan penderitaan para petani diabaikan begitu saja dan dillupakan oleh masyarakat.
Oleh karena itu, tidak ada pemborontakan seributahunan satu pun yang bisa mengancam negeri pemerintah secara serius.
Dalam kasus Thailand selatan dewasa ini, di dalam analisis yang terakhir aksi militan tidak mungkin akan bisa mempengaruhi intergrasi teritorial negara (meskipun pemerintah kurang memiliki kemampuan untuk mengelola situasi dan melakukan pebunuhan berdarah). Meskipun demikian, kemungkinan yang permanen terhadap penyelesaian masalah yang damai untuk konflik di Selatan tidak hanya tergantung pada kegaitan-kegiatan para militan saja. Sementara pemborontakan itu sendiri tidaklah susah untuk dihancurkan, para “kaum miskin” yang dipengaruhi dari perebutan sumber alam akan bergabung dengan kelompok-kelompok anti negara lain yang bukan pemborontakan seributahunan seperti banyak “kaum miskin” di Thailand yang pernah bergabung dengan Partai Kommunis Thailand. Atau, penderitaan “kaum miskin” mungkin menunjuk ke kekacauan dalam bentuk lain yang bukan teroris atau serangan terhadap pegawai negeri.
Perlu dikatakan bahwa negara moderen, tertama negeri sedang berkembang seperti Thailand, selalu menggunakan kekerasan dan kadang-kadang kejam dan biadab dalam menindas pemborontakan seributahunan. Karena susah untuk negeri sedang berkembang akan memahami mentalitas para “kaum miskin” yang memberontak. Mereka berbeda dalam suku bangsa, agama, budaya, atau bahasa (misalnya orang Moro di Filipina, orng Indian di Mexico, pribumi di Sarawak, orang Muslim Melayu di Thailand selatan, Cham di Vietnam, Rohingya di wilayah Arakan di Myanmar, dll). Tetapi perbedaan yang lebih penting adalah ideologi. Pemborontakan seributahunan biasanya selalu melawan untuk mempertahankan pola pemakaian sumber alam tradisional. Mereka menentang hukum yang membolehkan orang dari luar menggunakan sumber alam dari komunitas mereka, atau hukum yang melarang orang desa memperoleh sumber-sumber alam itu, atau kebijaksanaan yang menjadikan penggunaan sumber alam tradisional dari orang desa menjadi rugi atau menjadi tindak pidana. Padahal para “kaum miskin” membutuhkan pemakaian sumber alam yang beraneka, negara sedang berkembang ingin kesatuan pemakainnya (supaya bisa menentukan prioritas, contohnya, antara nelayan dan pembangunan bendung atau pipa gas). “kaum miskin” lebih suka pembagian sumber alam kepada rakyat yang beda menggunakan menurut ketrampilan istimewa mereka, sedangkan negara sedang berkembang ingin pemakaian yang tersentralisasi untuk “memaksimalkan” keperluan mereka guna memdapatkan penghasilan negara. Jadi permintaan para “kaum miskin” langsung berlawanan dengan model “pembangunan”. Tidak mungkin negara sedang berkembang akan berkompromi dengan mereka karena sama dengan menghancurkan legitimasi negara sedang berkembang itu sendiri.
Perbedaan-perbedaan tatacara membuat negara moderen – terutama negeri sedang berkembang – tidak melihat pemberontakan seributahunan secara manusiawi. Ini tidaklah mungkin untuk menerangkan bahwa mereka adalah orang yang terbelakang yang dituntun ke dunia moderen (pembangunan) yang penting bagi legitimasi negara, karena “mereka” adalah pemberontak; mereka tidak bisa dibeli, mereka tidak bisa dipikat, dan mereka tidak mau menerima ganti rugian atas berbagai kerugian mereka. Jadi mereka harus diganyang, dan cara paling mudah (tapi mungkin paling gagal) untuk mengganyang mereka adalah memusnahkan mereka. Lebih dari sepuluh ribu pemberontak Zapatista (yang kebanyakan memakai arit, pisau dan kapak kayu, sama dengan para militan pada tanggal 28 April) dibunuh oleh pemerintah Meksiko. Penulis merasa bahwa menjadi komunis dapat penghormatan sebagai “musuh” negeri lebih tinggi daripada para “pemberontakan petani”.
Apa Jalan Keluar yang Damai?
Siapa saja setuju bahwa kita sebaiknya memecahkan masalah dengan “cara damai”. Tetapi isilah ini maksudnya lebih jauh dari sekedar untuk tidak membunuh rakyatdengan senjata; tetapi seharusnya memasukkan penghentian semua kekerasan sama sekali. Pendapat penulis, kekurangan “perdamaian” di Selatan disebabkan kebijakan pembangunan pemerintah yang membolehkan penetrasi kapital yang merefek pada peniadaan rakyat kecil dari sumber-sumber alam, sedangkan negara tidak ada kemampuan maupun keinginan untuk mengontrol situasi dan menghasilkan cara pemecahan yang adil. Pada waktu yang sama tidak memberikan peluang (dalam pelaksanaannya) untuk membantu rakyat kecil menyesuaikan sedikit demi sedikti dan membangun kemampuan-kemampuan yang akan membolehkan mereka bertanding dalam pasar kapitalis tanpa kerugian pihak lain.
Semu faktor ini merupakan kekerasan dan jauh lebih dari artinya “damai” sejati.
Penulis sepenuhnya menyetujui saran-saran lain (seperti saran dari Wakil Perdana Menteri Chaturon Chaisaeng) untuk mengurangi perasaan saling mencurigai dengan menjamin keadilan yang dipergunakan lewat hukum, dan memupus agen negara yang bertanggung jawab untuk menciptakan kondisi rasa saling benci. Tetapi semua ini belum cukup, karena kekerasan tidak akan dihapuskan hingga kebijaksanaan pembangunan akan diperbaiki supaya sampai sunggu-sungguh mencapai keadilan.
Penulis berharap karangan ini akan membantu masyarakat umum melihat masalah di Selatan yang kompleks lebih jelas dan bergabung untuk mendorong terjadinya perubahan kebijakan pembangunan yang tidak adil. Tetapi penulis ada harapan yang kecil sekali saja, karena ini terkenal sebagai isu besar yang menmpengaruhi kepentingan kebanyakan para kapitalis yang memiliki kekuatan politik pada saat ini. Jika melihat media atau kaum menengah, yang posisinya paling bisa menekan pemerintah, mereka malahan menjadi pengikut dengan cara yang membuta terhadap kepimpinan negeri tentang kebijakan pembangunan. Jadi kematian rakyat hanya menjadi barang perdagangan untuk penukaran antara petugas keamanaan dan “pemberontak petani”, merupakan rekor angka ketika menjebolkan gol dalam pertandingan sepak bola.
--------------------------------------------------------------------------------
[1] Yang dimaksud dengan “peasant” (chaona) dalam hal ini saya tidak hanya bermaksud petani kecil yang subsisten, tetapi orang kecil (kaum miskin) lainnya dari berbagai jenis pekerjaan, seperti penambang, penyadap getah karet, pembuat arang kayu dan lain sebagainya. Kendati demikian akademisi cenderung untuk merujuk gerakan sosial dari kondisi alamiahnya sebagai “peasant rebellion”agar sesuai dengan konteks masyarakat Thai.
Saya juga bermaksud untuk memperingatkan pembaca bahwa informasi yang telah saya akses mengenai situasi di Thailand Selatan sebagian besar sulit untuk dipercaya. Pemerintah telah dengan sengaja mengelabuhi masyarakat atau menutup-nutupi fakta-fakta yang terjadi, atau tidak benar-benar menetahui situasi yang sesungguhnya, dan demikian pula dengan pihak yang berseberangan dengannya. Media massa juga tidak melakukan pekerjaan rumahnya secara meneyeluruh dan mencukupi. Sebagian dari masalah mengenai informasi yang tidak tersedia, secara sederhana sangatlah sedikit semenjak hampir semua perhatian telah terfokus hanya pada kejadian yang sebenarnya secara teliti.
[2] PULO adalah akronim dari i Pattani United Liberation Organization; BRN adalah Barisan Rakyat Nasional (People National Front); Permuda Bersatu (United Front for the Independence of Pattani).
[3] Sebuah surat kabar Swedia telah memaparkan sebuah wawancara dengan Samsuddin Khan, anggota senior dari organisasi PULO yang sekarang ini tinggal di negeri pengasingan di Swedia, yang mengaku bahwa organisasinya bertanggungjawab atas penyerangan yang terjadi pada tanggal 28 April 2004, meskipun demikian berdasarkan Komandan Angkatan bersenjata Wilayah IV menyatakan bahwa pengakuan tersebut tidaklah bisa dipercaya. (Bangkok Post, 13 May 2004).
[4] Translated from account by villagers, cited in “Khrongkan sueksa kanplianplang thang sangkhom lae watthanatham koranisueksa bandato lae ban phumi amphor yaring changwat pattani” [A Research Project on Social and Cultural Change, a case study of Bandato and Banphumi, Amphor Jering, Pattani], a villager-researcher training project coordinated by Srisakara Vallibhotama, p.32.
[5] Empat orang yang berparticipasi dalam operasi tanggal 28 April 2004 dan telah menyerahkan diri mereka ke gubernur di profinsi yala mengakui bahwa ketika diinterograsi oleh angkatan bersenjata wilayah IV bahwa sebelum melalukan operasi mereka diberikan air suci setelah sembayah malam pada tanggal 27 April 2004. Setelah minum air suci, mereka diberitahu bahwa mereka tidak akan terlihat oleh polisi (Bangkok Post, 13 May 2004).
[6] Di dalam laporan militer kejadian itu dipercaya bahwa tanggal 28 April 2004 dikomandani oleh organisasi sepratis baru, bernama Pemuda Bersatu (Youth Unity). Tetapi ini tidaklah jelas apakah organi bari itu merupakan bagian dari jaringan bayangan yang terdiri dari beberapa orghanisasi yang ada atau ini merupakan sebuah kelompok baru yang beroperasi secara mandiri. Komandan Angkatan bersenjata wilayah IV curiga bahwa organisasi baru ini tidaklah memiliki kaitan dengan organisasi terdahulu (Bangkok Post, 13 May 2004).
[7] Lihat laporan Thanawat Chae-un, Matichon, 5 May 2004, yang sementara membedakan secara teliti dari penelitian akademik secara konsisten dengan pikiran utamanya..
[8] Pidato Srisakra’s speech, “Kha ma, Kha hen, Kha khaochai: Pattani kab khwam lalang thang watthanatham thi yang thamrong khwam pen manut” [Saya Datang, Saya Lihat, Saya Paham: patani dan ketebelakangan Budaya yang menjaga rasa kemanusiaan], hlm.5.
[9] “Khrongkan sueksa kanplianplang thang sangkhom lae watthanatham,” hlm.5-6.
from Kyoto Review
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment